Selasa, 18 Juni 2013

Shilla (Repost)


Shilla berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Di tangan kanannya, dia membawa sekantong plastik yang berisi kotak makanan. Sesekali Shilla tersenyum ramah pada beberapa dokter ataupun suster yang berpapasan dengannya. Beberapa dokter dan suster di rumah sakit itu memang sudah mengenal Shilla.
Shilla. Seorang gadis cantik yang ramah, periang, dan baik hati. Dia juga seorang gadis yang rendah hati dan suka menolong. Nggak heran kalo banyak orang yang menyukai dan mengagumi Shilla.
Shilla menghentikan langkahnya di depan sebuah kamar di rumah sakit itu. Pintunya sedikit terbuka. Pandangannya tertuju pada seorang gadis kecil di dalam kamar itu.
“Keke nggak mau makan!” ujar gadis itu sambil menutup mulutnya dengan tangan.
“Keke sayang, kamu nggak boleh gitu dong...Makan ya!” ucap seorang wanita yang berusia sekitar 30-an. Wanita itu adalah Mamanya.
“Pokoknya Keke nggak mau makan! Keke mau makan kalo disuapin kak Chilla.”
Mendengar ucapan gadis kecil itu, Shilla mengetuk pintu kamar itu. Keke dan Mamanya menoleh. Mata Keke langsung berbinar melihat kedatangan Shilla.
“Horeeee!!! Kak Chilla dateng!” seru Keke girang.
Shilla tersenyum, “Siang, Tante!” sapa Shilla pada Mama Keke, lalu berganti menatap Keke, “Hai, Keke!”
“Siang, Shilla! Masuk, Shil!” kata Mama Keke.
Shilla mengangguk, lalu masuk dan duduk di tepi tempat tidur Keke.
“Ini lho, Shil…Keke nggak mau makan. Dia mintanya disuapin sama kamu.” Lanjut Mama Keke.
Shilla tersenyum dan berganti menatap Keke. Shilla mengenal Keke dan keluarganya di rumah sakit itu memang tanpa sengaja. Waktu itu Shilla melihat Keke yang nggak mau makan maupun minum obat.  Tapi atas bujukan Shilla, Keke jadi mau makan dan meminum obatnya. Bahkan selama seminggu ini pun, Keke masih bergantung pada Shilla.
“Ya udah, nggak pa-pa, Tante. Biar Shilla yang suapin.”
Akhirnya Mama Keke memberikan semangkuk bubur pada Shilla. Usaha Shilla memang nggak sia-sia. Satu mangkuk bubur itu habis dimakan oleh Keke. Keke juga mau meminum obatnya.
“Nah, gitu dong….anak pinter!” Shilla membelai lembut rambut Keke.
Mama Keke tersenyum lega melihat putrinya mau meminum obatnya.
“Makasih ya kak Chilla…”
Shilla tersenyum, “Sama-sama. Tapi…Keke nggak boleh gini lagi ya! Walaupun nggak ada kak Shilla, Keke harus tetep makan dan minum obat, biar Keke cepet sembuh. Kalo Keke sakit kan kak Shilla ikut sedih. Keke nggak mau kan kalo kak Shilla sedih?” tanya Shilla. Shilla sadar kalo Keke nggak boleh terus-terusan bergantung padanya.
Keke menggeleng.
“Nah…makanya, Keke harus rajin minum obatnya ya!” ujar Shilla lembut.
“Iya deh, kak. Keke mau cepet sembuh, biar bisa main sama kak Chilla.”
Shilla tersenyum, “Ya udah, sekarang Keke bobo ya!”
Keke mengangguk lalu berbaring di tempat tidur. Tak lama kemudian, Keke sudah tidur terlelap.
“Makasih ya, Shil, udah nolongin Tante…karena kamu, Keke jadi mau makan dan minum obatnya.” Ucap Mama Keke.
“Nggak kok, Tante. Sama sekali nggak ngerepotin. Shilla ikhlas kok nolongnya.”
“Oh ya, kamu ke sini mau ketemu sama Mama kamu ya?”
Shilla menepuk keningnya. Tujuan utamanya ke Rumah Sakit itu memang untuk mengantarkan makanan buat Mamanya.
“Ya ampun…Shilla sampe lupa! Ya udah, Shilla permisi, Tante.”


♥ ♥ ♥

Shilla memasuki ruangan Mamanya. Mama Shilla terlihat sedang sibuk meneliti beberapa map. Melihat kedatangan putrinya, Mama Shilla tersenyum.
“Selamat siang, ibu dokter…!” sapa Shilla dengan nada sedikit menggoda.
“Selamat siang, sayang!”
Shilla duduk di kursi tepat berhadapan dengan Mamanya.
“Mama udah nggak sibuk kan?”
“Nggak, Shil. Ini waktunya Mama istirahat kok.”
“Bagus deh, Mama tuh kalo udah kerja, pasti sampai lupa makan. Nanti kalo Mama sakit gimana? Malu kan sama pasien-pasien Mama? Masa dokter sakit sih?” cerocos Shilla.
Ini memang bukan pertama kalinya Shilla mengingatkan Mamanya agar nggak telat makan. Biarlah Shilla dibilang cerewet. Dia cuma nggak mau kalo Mamanya sampai sakit.
Mama Shilla hanya tertawa kecil.
“Nih, Shilla bawain ayam bakar favorit Mama. Pasti Mama suka!” Shilla mengeluarkan kotak makanan dari kantong plastik.
Shilla memberikan kotak makan itu pada Mamanya. Mama Shilla membukanya.
“Hmm…dari baunya aja udah enak. Kamu masak sendiri?”
Shilla mengangguk, “Mumpung lagi libur, Shilla pengen masakin buat Mama.”
“Kamu sendiri udah makan belum?”
“Mmm…belum, Ma.” Shilla nyengir kuda.
Mama hanya geleng-geleng kepala.
“Kamu ini…ngingetin Mama makan, tapi kamu sendiri belum makan.”
“Hehehe…habis tadi buru-buru pengen ke sini, Ma.”
“Ya udah, kita makannya berdua aja ya!”
Shilla mengangguk, “Suapin Mama ya!” ujar Shilla manja.
“Dasar manja!”
Shilla Cuma nyengir.
Akhirnya mereka menikmati makanan itu berdua.
“Oh ya, tadi gimana acara baksosnya?” tanya Mama setelah mereka selesai makan.
“Seru banget, Ma. Tadi Shilla sama temen-temen, bagi-bagiin kebutuhan pokok, pakaian pantas pakai dan beberapa buku-buku pelajaran, Ma. Shilla seneng banget bisa berbagi sama mereka, Ma.”
“Mama bangga deh sama kamu, Shil. Jiwa Sosial kamu tinggi. Kamu peduli sama orang-orang di sekitar kamu dan kamu juga senang membantu orang.”
“Bukannya sesama manusia harus saling tolong-menolong? Lagian…Shilla juga belajar dari Mama dan…almarhum Papa. Yang Shilla lakuin ini cuma hal kecil kok dan Shilla seneng bisa bantuin mereka yang membutuhkan. Shilla pengen kayak Mama dan almarhum Papa yang bisa berguna buat orang lain.”
Ya…Papa Shilla memang sudah meninggal tiga tahun yang lalu, saat Shilla masih duduk di bangku SMP. Papa Shilla dulunya seorang dokter, sama seperti Mama Shilla. Shilla selalu bangga dengan kedua orang tuanya yang bisa menolong orang. Dan sejak saat itu, Shilla mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang dokter.
Tapi pada suatu hari, kejadian menimpa Papa Shilla. Waktu itu Papa Shilla ditugaskan untuk menolong korban bencana alam. Tapi di tengah perjalanan, mobil Papa Shilla menabrak sebuah truk hingga menyebabkan Papa Shilla meninggal.
“Coba kalo Papa kamu masih hidup ya, Shil? Papa kamu pasti ikut bangga sama kamu.” Wajah Mama Shilla mendadak murung.
“Mamaaaa…!” Shilla menggenggan tangan Mamanya, “Mama jangan sedih ya, nanti Papa ikutan sedih di sana. Kan ada Shilla di sini. Dan kita harus percaya, kalo Papa akan selalu hidup dalam hati kita.” Shilla menguatkan Mamanya.
Mama mencoba tersenyum, walau senyum itu dipaksakan.
TOK! TOK! TOK! Suara ketukan pintu membuat Shilla dan Mamanya menoleh.
“Masuk!” saru Mama Shilla.
Seorang suster muncul dari balik pintu.
“Maaf, Dok! Ada pasien yang harus segera ditangani.” Ucap suster itu.
Mama Shilla berganti menatap Shilla, “Mama tinggal dulu ya, Shil…”
Shilla mengangguk. Setelah mengambil stethoscope-nya, Mama Shilla langsung keluar bersama suster itu.
Sementara itu, Shilla membereskan kotak makanannya dan memasukannya kembali ke dalam kantong plastik.
“Hmm…dari pada bosen, mendingan aku jalan-jalan ke taman aja deh.” Guman Shilla.

♥ ♥ ♥

Shilla sampai di taman Rumah Sakit. Tamannya sangat indah dengan ditumbuhi berbagai jenis bunga yang berwarna-warni. Shilla sangat menyukai suasana itu. Membuatnya nyaman. Nggak heran kalo Shilla sering ke taman itu kalo lagi bosen nungguin Mamanya.
Tapi siang itu taman tampak sepi. Hanya ada Shilla dan…seorang cowok. Cowok itu sedang duduk di salah satu kursi taman. Cowok itu terlihat sedang mendekatkan sebuah silet ke urat nadi tangan kirinya.
Shilla melotot. ‘Jangan-jangan dia mau bunuh diri!’ pikirnya.
“HEY! APA YANG AKAN KAMU LAKUKAN?” seru Shilla pada cowok itu.
Sontak cowok itu menoleh. Menatap Shilla sebentar dengan tatapan dingin. Lalu cowok itu berganti menatap silet yang dipegangnya tadi. Seolah cuek dan nggak peduli dengan pertanyaan Shilla.
Shilla berjalan mendekati cowok itu dan merebut silet yang dipegang cowok itu.
“Kamu ini apa-apaan sih? Pasti mau bunuh diri ya?” tanya Shilla marah.
“Kamu yang apa-apaan? Dateng-dateng seenaknya aja marah-marah sama aku! Kamu nggak berhak ikut campur urusanku!” sahut cowok itu ketus.
“Oke, mungkin ini bukan urusan aku. Tapi aku nggak mungkin diem aja kan, ngeliat orang mau bunuh diri?”
Cowok itu tersenyum sinis, “Memangnya apa peduli kamu? Kamu itu bukan siapa-siapanya aku! Kenal aja nggak!”
“Ya…kita memang belum saling kenal. Tapi…kita bisa jadi temen kan?” tanya Shilla sambil menatap cowok itu.
Tak ada jawaban dari cowok itu.
“Mungkin masalah yang kamu hadapi sangat berat. Tapi caranya bukan gini kan? Bunuh diri adalah perbuatan yang dibenci Alloh. Kamu juga harus pikirin orang-orang di sekitar kamu yang sayang sama kamu. Ada orang tua kamu, temen-temen kamu, atau mungkin sahabat kamu. Apa kamu tega ninggalin mereka?”
“Cepat atau lambat aku juga bakal ninggalin mereka.” Kata cowok itu datar.
Shilla mengerutkan keningnya, “Maksud kamu?”
“Aku divonis dokter terkena kanker otak stadium akhir. Dan dokter bilang umur aku nggak lama lagi. Puas kamu?”
Shilla ternganga, “Jadi kamu…?”
“Ya. Aku terkena penyakit mematikan itu dan umurku nggak lama lagi.”
Shilla terdiam. Menatap cowok di sampingnya dengan tatapan tidak tega. Matanya sedikit berkaca-kaca. Seolah ikut merasakan kesedihan yang dirasakan cowok itu.
“Itu kan kata dokter. Dokter Cuma manusia biasa kan? Yang menentukan hidup dan matinya seseorang kan cuma Tuhan. Kamu percaya kan kalo keajaiban itu ada? Jadi…kamu nggak boleh putus asa!” kata Shilla memberi semangat.
“Kamu gampang ngomong gitu! Karena kamu nggak ngerasaain apa yang aku rasain. Hidup kamu sempurna. Kamu juga nggak punya beban. Sedangkan aku? Aku nggak bisa ngelakuin hal apa-apa. Aku hanya bisa diam menunggu maut menjemputku.”
Shilla menghela napas dan menatap lurus ke depan.
“Kamu salah! Siapa bilang hidup aku sempurna? Hidup aku juga nggak sempurna kok. Aku nggak punya Papa. Papaku meninggal tiga tahun yang lalu karena kecelakaan. Dan selama tiga tahun ini pula, aku nggak pernah merasakan kasih sayang seorang Papa. Tapi aku masih tetap bersyukur, karena aku masih mempunyai Mama yang sangat sayang sama aku.”
Cowok itu terdiam.
“Nggak ada manusia yang sempurna. Dan harusnya kamu juga bersyukur karena kamu mempunyai keluarga yang lengkap. Dan bersyukur karena kami masih bisa bernapas sampai hari ini. Kamu harus yakin dong…kalo Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk semua umatnya.”
Cowok itu masih diam. Menatap cewek di sampingnya itu. ‘Cantik.’ Pikirnya. Dan harus cowok itu akui, kalo ucapan cewek itu membangkitkan semangat untuknya.
“Hehehe…maaf ya! Aku cerewet banget ya? Mamaku juga cerewet. Dan kata orang-orang, aku mirip banget sama Mamaku. Ya iya lah…aku kan anaknya ya? hehehe…” ucap Shilla nggak penting.
Cowok itu sebenernya ingin tersenyum, tapi mengurungkan niatnya. ‘Cantik, cerewet, lucu!’ pikir cowok itu lagi.
“Oh ya, dari tadi kita belum kenalan ya? Kenalin…Aku Ashilla, tapi cukup panggil Shilla aja.” ucap Shilla memperkenalkan diri sambil mengajak cowok itu bersalaman.
Bukannya membalas uluran tangan Shilla, cowok itu malah beranjak dari tempat duduknya dan berlalu meninggalkan Shilla. Membuat Shilla bingung. Lalu Shilla menghela napas dan menarik tangannya kembali.
“Dasar cowok aneh!” ucapnya pelan.

♥ ♥ ♥

Keesokan harinya sepulang sekolah, Shilla kembali ke rumah sakit – tempat kerja Mamanya. Tapi sayang, Mama Shilla sedang sibuk dan Shilla pun nggak mau mengganggu pekerjaan Mamanya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke taman rumah sakit.
Sesampainya di taman, Shilla melihat seorang anak laki-laki sedang menangis. Lutut anak laki-laki itu berdarah. Shilla memutuskan untuk menghampiri anak laki-laki itu.
“Kamu kenapa nangis? Kok lutut kamu berdarah gitu?” tanya Shilla lembut.
“Aku habis jatuh, kak.” Jawab anak itu sambil sesenggukan.
Shilla mengmbil sapu tangan dari tasnya. Lalu membersihkan darah pada luka anak itu. Setelah itu, Shilla melekatkan plester pada luka itu. Shilla memang selalu sedia plester di tasnya. Karena dia sedikit ceroboh.
“Nah, selesai deh… Gimana? Masih sakit nggak?” tanya Shilla.
“Udah nggak, kak. Makasih ya…” kata anak laki-laki itu sambil tersenyum.
Shilla mengangguk dan tersenyum.
“Nama kamu siapa?”
“Ray, kak. Kalo kakak?”
“Shilla.”
Mereka pun bersalaman.
“Mmm…kamu di sini sendirian? Orang tua kamu mana?”
“Mamaku lagi nebus obat di apotek, kak. Niatnya mau tunggu di sini. Tapi tadi pas lari malah jatuh.”
“Ya udah, lain kali hati-hati ya…”
Ray mengangguk.
“RAY!” panggil seseorang di belakang mereka. Membuat mereka menoleh.
“Mama cariin ke mana-mana ternyata kamu di sini.” kata wanita itu yang ternyata adalah Mama Ray.
“Maafin Ray, Ma…tadi nggak bilang-bilang dulu sama Mama. Tadi…Ray jatuh, Ma.”
Wajah Mama Ray berubah cemas, “Kamu habis jatuh sayang? Mananya yang sakit?”
“Mama tenang aja. Ray udah nggak pa-pa kok. Tadi kak Shilla udah ngobatin luka aku.”
Mama Ray berganti menatap Shilla, lalu tersenyum. “Duh…makasih ya nak Shilla, udah nolongin Ray.”
“Sama-sama, Tante.”
“Ya sudah, kita pamit dulu ya.”
Shilla mengangguk.
“Ray pulang dulu ya, kak.” Pamit Ray.
“Iya, hati-hati ya…”
Dari kejauhan, seorang cowok memperhatikan mereka sejak tadi. Terutama pada Shilla.
‘Shilla…sungguh gadis cantik yang baik hati.’ Pikir cowok itu sambil senyum-senyum sendiri.
Setelah Ray dan Mamanya pergi, Shilla membalikkan badannya. Matanya bertemu dengan mata seorang cowok. Cowok yang kemarin, Shilla tersenyum dan menghampiri cowok itu. Lalu duduk di sampingnya.
“Hai! Kita ketemu lagi ya?” sapa Shilla pada cowok itu sembari tersenyum.
Cowok itu hanya tersenum tipis.
“Kamu sering ke taman ini?” tanya Shilla.
“Iya.” Jawabnya singkat.
Mendadak perut Shilla keroncongan. Shilla memang belum makan sejak pulang sekolah. Dia jadi teringat brownies yang dibawanya tadi. Shilla mengambil kotak makannya dari dalam tasnya dan membukanya. Tercium aroma brownies yang sangat menggoda.
“Nih, ambil aja!” tawar Shilla sambil menyodorkan kotak browniesnya pada cowok itu.
Cowok itu menggeleng pelan, “Makasih…”
“Halah…nggak usah malu-malu.Browniesnya enak lho. Nanti kami nyesel?” goda Shilla.
Mau nggak mau cowok itu tersenyum dan mengambil sepotong brownies. Mereka sama-sama menikmati brownies itu dalam diam.
“Mmm…sepi banget ya? Kita dengerin musik aja ya?” Shilla mengambil handphone dari tasnya.
“Kamu tau lagunya d’masiv yang jangan menyerah nggak? Aku suka banget lagunya. Tapi…kita dengerin yang versi idola cilik aja ya? Nggak kalah bagusnya kok.”
Cowok itu menatap Shilla yang tengah sibuk dengan handphonenya. Shilla memang lucu. Padahal dari tadi cowok itu hanya diam. Tapi Shilla nggak ada capek-capeknya ngajak ngomong cowok itu.
“Nah, ketemu deh lagunya!” Shilla menekan tombol play di HPnya.

Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
Kita pasti pernah
Dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini
Tak ada artinya lagi

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik

Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik

Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa

“Lagu ini…artinya dalem banget kan? Kalo aku lagi punya masalah, aku pasti dengerin lagu ini. Lagu ini bikin aku sadar akan satu hal. Yaitu…seberat apapun cobaan yang diberikan Tuhan untuk kita, jangan sampai membuat kita putus asa. Justru kita harus selalu sabar dan tetap semangat. Karena Tuhan nggak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan manusia.”
Cowok itu terdiam dan menatap lurus ke depan. Merenungi kata-kata Shilla tadi. Yang dikatakan Shilla memang benar. Sekalipun dia sudah divonis dokter bahwa umurnya nggak akan lama lagi, tapi dia nggak boleh putus asa dan harus tetap semangat. Seharusnya dia bisa melakukan hal terbaik, selagi dia masih diberi kesempatan untuk bernapas.
Cowok itu berganti menatap Shilla dan tersenyum, “Aku Alvin...” cowok itu memperkenalkan diri dan mengajak Shilla bersalaman.
Shilla tersenyum dan menyambut uluran tangan Alvin dengan senang, “Shilla…”
Dan…sejak perkenalan itu, Shilla dan Alvin menjadi sering bertemu di taman itu. Walau hanya sekedar untuk mengobrol. Seperti hari-hari biasanya, sepulang sekolah, Shilla ke rumah sakit itu nggak hanya untuk menemui Mamanya. Tapi juga untuk bertemu Alvin. Bahkan tak jarang Shilla membawakan makanan untuk Alvin. Selain itu, Shilla selalu memberikan semangat untuk Alvin.

♥ ♥ ♥

Shilla berada di luar ruangan dengan cemas. Sesekali melihat Alvin lewat kaca jendela.
“Arrrggghhh….Sakiiiiitt!!!” teriak Alvin dri dalam ruangan.
Shilla mengigit bibir bawahnya sembari meremas bajunya sendiri. Nggak tahan melihat Alvin kesakitan di dalam sana. Air matanya mulai menetes.
“Sakit, Dokteeeer!!!” teriak Alvin lagi.
Entah teriakan-teriakan apalagi yang didengar oleh Shilla. Yang jelas di dalam sana Alvin merasa kesakitan.
Ini sudah keiga kalinya Shilla menemani Alvin kemo. Dan sudah ketiga kalinya pula Shilla melihat Alvin kesakitan. Sebenarnya Shilla nggak sanggup melihatnya. Tapi dia ingin selalu memberikan semangat untuk Alvin. Shilla tahu, kalo Alvin adalah cowok yang kuat.
Satu jam berlalu. Shilla masuk ke dalam ruangan Alvin. Ditatapnya Alvin yang terbaring lemas. Wajahnya pun terlihat pucat. Menyadari kedatangan Shilla, Alvin menoleh dan tersenyum.
“Sakit banget ya?” tanya Shilla lembut.
Alvin tersenyum, “Udah biasa kok. Lagian ada kamu di sini, jadi…rasa sakit itu bisa sedikit terobati.”
Shilla tertawa kecil, “Gombal kamu!”
Tiba-tiba Alvin menutup mulutnya dengan tangan. Sepertinya dia ingin muntah. Shilla segera mengambil baskom dan mendekatkannya kepada Alvin. Tak lama Alvin memuntahkan cairan dari mulutnya. Shilla tahu, kalo itu adalah salah satu efek dari kemo.
Shilla memijit-mijit leher Alvin. Setelah merasa lega, Alvin kembali membaringkan tubuhnya. Shilla membantu membersihkan mulut Alvin yang terkena muntahan tadi dengan tisu. Sesaat mereka berpandangan. Jantung mereka sama-sama berdetak kencang.
“Ya udah, kamu sekarang istirahat dulu ya…” ujar Shilla sedikit gugup.
“Makasih ya, Shil…” Lalu Alvin menggenggan satu tangan Shilla, “Kamu mau kan nemenin aku dulu di sini?”
Shilla mengangguk dan tersenyum. Lalu Shilla duduk di kursi sebelah tempat tidur Alvin. Tak lama, Alvin tertidur. Tangannya terus menggenggan tangan Shilla. Seolah tak mau Shilla pergi.
Sementara Shilla masih terus menatap Alvin yang sudah tidur terlelap. Menatap lekat setiap lekukan wajah Alvin. Walaupun terlihat pucat, tapi tidak menghilangkan ketampanannya. Sampai akhirnya Shilla ikut tertidur. Kepalanya bersandar di tepi tempat tidur Alvin.
Satu jam pun berlalu. Alvin terbangun dari tidurnya. Saat membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah Shilla. Shilla masih tertidur. Dan tanpa sadar, Alvin menggenggan tangan Shilla sejak tadi. Perlahan, Alvin melepaskan tangannya dari tangan Shilla dan berganti membelai rambut Shilla dengan lembut. Alvin menatap wajah Shilla lekat-lekat, lalu tersenyum. Membuat Shilla kaget dan terbangun.
“Eh, kamu udah bangun, Vin?” tanya Shilla setelah semua nyawanya terkumpul.
Alvin menanggapinya dengan senyum.
“Aduh…maaf ya, aku malah jadi ikut ketiduran.” Lanjut Shilla.
“Harusnya aku yang minta maaf, Shil. Aku udah banyak ngerepotin kamu.”
Shilla menggeleng pelan, “Nggak kok, Vin. Sama sekali nggak ngerepotin.”
“Mmm…kamu mau nemenin aku jalan-jalan ke taman nggak?”
“Jalan-jalan? Memangnya kamu udah baikan?”
“Kamu tenang aja, aku udah baikan kok. Kamu mau kan?”
Sebenarnya Shilla ragu kalo keadaan Alvin sudah benar-benar membaik. Tapi toh akhirnya dia mengangguk.
Shilla membantu Alvin untuk duduk di kursi roda.
“Shil, tolong ambilin kertas gambar sama pensil di meja ya…” pinta Alvin.
Shilla mengangguk dan mengambilkan benda yang diminta oleh Alvin.
“Makasih ya, Shil…”
“Kamu ini apa-apaan sih, ngomong makasih terus?”
“Soalnya kamu baik banget sama aku. Kamu mau nemenin aku…ya…mungkin…di hari-hari terakhir aku.”
Mendengar perkataan Alvin, dada Shilla terasa sesak. Jujur…Shilla sangat takut kehilangan Alvin. Dia nggak mau kehilangan seseorang yang sangat dia sayang untuk kedua kalinya. Shilla ingin terus bersama Alvin.
“Kok kamu ngomongnya gitu sih?” Tanya Shilla dengan suara bergetar menahan tangis.
Alvin tersenyum kecut. Yang dirasakan olehnya saat ini, sama seperti Shilla. Alvin sangat menyayangi gadis itu. Alvin pun tidak mau bila dian harus meninggalkan gadis itu. Alvin ingin terus berada di samping Shilla dan selalu menjaganya. Tapi apakah itu mungkin?
“Eh…aku lukis wajah kamu ya…!” kata Alvin mengalihkan pembicaraan.
“Memang kamu bias ngelukis?”
“Bisa dong…aku kan dulu pernah juara satu lomba lukis antas sekolah.”
“Mmm…ya udah, kalo gitu, kamu buktiin. Aku pengen liat lukisan kamu.”
Alvin tersenyum dan mulai melukis. Tapi belum selesai Alvin melukis, mendadak kepala Alvin terasa sakit. Alvin memegang kepalanya.
Melihat hal tersebut, wajah Shilla berubah menjadi cemas.
“Vin, kamu kenapa?” Tanya Shilla cemas.
“Mmm…nggak pa-pa kok.” Jawab Alvin sambil berusaha tersenyum. Dia nggak mau menunjukkan rasa sakitnya di depan Shilla.
“Nggak pa-pa gimana? Muka kamu udah pucat banget gitu kok. Sekarang kita balik ke kamar aja ya…”
“Nanti aja, Shil. Lukisannya kan belum selesai.”
“Kamu bandel banget sih dibilangin. Lanjutin besok lagi aja! Pokoknya sekarang kita ke kamar!” kata Shilla tegas.
Alvin pun mengangguk pasrah.

♥ ♥ ♥

Entah mengapa hatiku trus gelisah…
Apa yang kan terjadi…

Alvin…kamu mau ke mana?” Tanya Shilla takut.
“Aku mau pergi, Shil…” jawab Alvin pelan.
“Pergi? Pergi ke mana? Kamu mau ninggalin aku?” Tanya Shilla lagi. Kali ini air matanya mulai keluar.
Alvin hanya terdiam dan menatap Shilla dalam-dalam.
“Maafin aku, Shil…”
“Nggak! Kamu nggak boleh pergi! Kamu harus tetep di sini buat nemenin aku!”
“Maaf, Shil. Aku tetep nggak bisa. Aku harus tetep pergi. Kamu jaga diri kamu baik-baik ya…”
Alvin melepaskan tangannya dari tangan Shilla. Lalu berjalan menjauhi Shilla. Dan semakin lama bayangan Alvin semakin menghilang.
“ALVIIIINN!!! KAMU NGGAK BOLEH PERGI!!!” teriak Shilla.
Shilla terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah dan seluruh tubuhnya berkeringat.
“Ternyata Cuma mimpi…” ucap Shilla pelan sambil memegang kepalanya.
“Tapi…kenapa aku bias mimpi gitu ya?”
Mendadak perasaaan Shilla menjadi nggak enak. Hatinya begitu gelisah. Kenapa dia bias mimpi seperti itu? Apa itu pertanda?
Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nggak, nggak mungkin! Tadi itu cuma mimpi, Shilla! Dan mimpi hanyalah bunga tidur!” Shilla terus meyakinkan dirinya. Dia berharap kalo semuanya akan baik-baik saja.
Shilla melirik kea rah jam dinding kamarnya. Jam empat sore. Shilla turun dari tempat tidurnya dan bergegas ke kamar mandi. Sore itu dia berniat untuk menemui Alvin.
Selesainya mandi dan berpakaian, Shilla menuju lantai bawah bersamaan dengan bunyi bel rumahnya. Shilla membuka pintu rumahnya dan…
ALVIN?” Tanya Shilla tak percaya.
Di hadapannya, Alvin tersenyum untuknya. Saking senangnya, Shilla langsung menghambur ke pelukan Alvin. Dipeluknya Alvin dengan erat. Shilla nggak mau kalo Alvin meninggalkannya.
Alvin bingung dengan sikap Shilla yang tiba-tba itu. Tapi toh akhirnya Alvin membalas pelukan Shilla.
“Hey…kamu kenapa?” Tanya Alvin lembut.
“Jangan pergi, Vin!” pinta Shilla pelan. Tanpa terasa, air matanya mulai menetes. Rasa takut itu kembali muncul dihatinya.
Alvin hanya terdiam. Perlahan Alvin melepaskan pelukannya dan menatap Shilla dalam-dalam. Dengan lembut, Alvin menghapus air mata Shilla dengan tangannya.
“Aku nggak suka liat kamu nangis. Aku lebih suka liat kamu tersenyum. Jadi…sekarang kamu senyum dong!”
Shilla mencoba tersenyum.
“Nah, gitu dong! Sekarang…kamu mau kan nemenin aku jalan-jalan?” Tanya Alvin.
“Jalan-jalan? Tapi kamu itu kan lagi…” kata Shilla terpotong.
“Sakit?”
Shilla mengangguk pelan.
Alvin tersenyum, “Aku nggak mau cuma jadi cowok penyakitan yang cuma bisa berdiam diri di kamar, menunggu maut menjemputku. Kan kamu yang bilang sendiri, kalo aku harus jadi cowok yang kuat kan?”
Shilla mengangguk ragu. Entah kenapa saat ini dia merasa sangat lemah di hadapan Alvin. Padahal biasanya dia selalu memberikan suntikan semangat untuk Alvin. Tapi saat ini…Shilla benar-benar takut kehilangan Alvin.
“Gimana? Kamu mau kan nemenin aku jalan-jalan?” Alvin mengulang pertanyaannya.
Shilla mengangguk dan tersenyum.

♥ ♥ ♥

Air mata pun jatuh tak tertahan…
Melihatmu terdiam…

Alvin mengajak Shilla ke sebuah danau. Danau yang begitu indah. Suasananya pun sangat sejuk. Membuat hati begitu damai. Shilla dan Alvin memutuskan untuk duduk di salah satu kursi sambil menatap keindahan danau pada sore itu.
“Bagus banget tempatnya, Vin. Kamu sering ke sini?” Tanya Shilla kagum.
“Iya. Aku memang sering ke tempat ini. Tapi selalu sendiri. Dulu…aku pernah punya keinginan kalo suatu saat, aku bisa mengajak seseorang yang aku sayangi ke danau ini. Dan sekarang…keinginanku itu sudah terwujud.” Alvin tersenyum sambil menatap Shilla.
Shilla menundukan kepalanya untuk menyembunyikan pipinya yang sudah merona.
“Oh ya, lukisan yang waktu itu udah aku selesaiin. Kamu simpen baik-baik ya…” Alvin memberikan gulungan kertas pada Shilla.
Shilla menerimanya dan membuka lukisan dari Alvin. Shilla tersenyum. Di atas kertas itu, terlukis wajah Shilla yang tengah tersenyum.
“Lukisan kamu bagus…” puji Shilla.
“Tolong kamu simpen baik-baik ya…!”
“Pasti. Makasih ya…”
Alvin mengangguk. Lalu menyandarkan kepalanya di pundak Shilla.
“Sekarang…aku mau dengerin cerita kamu, apa yang akan kamu lakukan besok?”
“Mmm…besok? Seperti biasa, besok pagi aku berangkat ke sekolah. Dan pulang sekolah….aku mau bikinin brownies buat kamu. Lalu kita bertemu di taman rumah sakit seperti biasanya.” Kata Shilla.
“Lalu besoknya?”
“Besoknya? Aku akan ngelakuin hal yang sama. Tapi mungkin aku nggak bikinin kami brownies. Kamu mau aku bikinin apa? Gimana kalo puding coklat aja ya?” suara Shilla kali ini terdengar bergetar menahan tangis.
“Yang jelas…aku mau kita bisa selalu sama-sama.” Lanjut Shilla.
“Tapi…kalo aku nggak bisa?”
Shilla terdiam. Dadanya terasa sesak mendengar kata-kata Alvin.
“Pasti bisa! Pasti bisa, Vin! Kamu harus selalu ada di samping aku. Selalu ngasih aku semangat. Kamu juga harus liat kalo suatu saat nanti, aku akan menjadi seorang dokter seperti orang tuaku. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa berguna untuk orang lain. Dan…aku pasti akan nyembuhin penyakit kamu. Jadi kamu mau kan selalu ada di samping aku? Kamu mau janji kan?”
Tak ada jawaban dari Alvin.
“Vin…kamu mau janji kan?”
Masih tak ada jawaban dari Alvin. Kepala Alvin pun semakin terasa memberat di pundak Shilla. Shilla tak dapat lagi menahan air matanya. Air matanya yang ditahannya sejak tadi, akhirnya tumpah juga.

Ternyata kau pergi tuk slamanya…
Tinggalkan diriku dan cintaku…

Shilla memberanikan diri untuk  memegang dada Alvin. Detak jantung Alvin berhenti. Dan yang ditakutkan Shilla terjadi juga. Alvin telah pergi. Pergi untuk selamanya.

Apa kau melihat dan mendengar
Tangis kehilangan dariku
Baru saja kuingin kau tahu perasaanku,
Padamu…

“Aku…sayang….kamu, Vin…” ucap Shilla lirih.

♥ ♥ ♥

6 tahun kemudian…

“Gimana keadaan Deva, Dok?” Tanya seorang wanita berumur sekitar 30-an.
“Ibu nggak usah khawatir.Deva hanya demam kok. Ini saya kasih resepnya. Jangan lupa diminum 3x sehari.”
“Terima kasih ya, Dokter Shilla.”
Shilla mengangguk dan berganti menatap Deva.
“Deva harus banyak-banyak istirahat ya. Obatnya juga jangan lupa diminum.”
“Siap, Bu Dokter!” jawab Deva.
“Ya sudah, kami permisi dulu ya, Dok. Sekali lagi terima kasih.”
“Sama-sama, ibu.” Shilla membalas jabatan tangan Mama Deva dan Deva.
Deva dan Mamanya keluar ruangan.
“Panggil pasien selanjutnya ya, Sus…” ujar Shilla pada salah seorang suster.
“Baik, Dok!” jawab suster itu.
Tak lama kemudian seorang cowok masuk ke dalam ruangan.
“Selamat siang, Dokter Ashilla cantik…” sapa cowok itu sambil senyum-senyum gaje.
Shilla menoleh, lalu menghela napas.
‘Dia lagi? Ngapain sih dia mesti ke sini?’ pikir Shilla.
Cowok itu langsung duduk di hadapan Shilla sambil tersenyum. Shilla melengos. Cowok itu adalah salah satu pasiennya yang beberapa waktu lalu pernah di rawat di rumah sakit itu karena demam berdarah. Namanya Gabriel. Dan setelah keluar dari rumah sakit itu pun, Gabriel masih sering menemui Shilla dengan alasan yang nggak jelas. Shilla sering dibuat kesal olehnya. Contohnya saja dengan cara Gabriel berpura-pura sakit, padahal setelah diperiksa, keadaan Gabriel baik-baik saja.
“Ada perlu apa kamu ke sini?” tanya Shilla jutek.
“Yaelah, Dok…jutek banget? Nanti cantiknya ilang loh…” goda Gabriel.
“Maaf…saya lagi banyak pasien. Tolong jangan ganggu saya. Jadi kalo nggak ada urusan penting, kamu bisa keluar dari ruangan saya.”
“Ya nggak bisa gitu dong, Dok. Saya kan juga pasien dokter?”
“Iya, tapi beberapa hari yang lalu. Sekarang kamu udah baik-baik aja kan?”
“Siapa bilang saya baik-baik aja?”
Shilla menaikkan alis, “ Maksud kamu?”
Wajah Gabriel berubah serius, “Gini, Dok… Kenapa ya, setiap saya ada di deket dokter, jantung saya deg-degan nggak karuan kayak habis lari marathon? Setiap saya ngeliat senyuman dokter, tubuh saya rasanya membeku. Dan setiap malam, saya juga selalu nggak bisa tidur karena mikirin dokter. Kalo gejalanya gitu, saya sakit apa ya, Dok?”
Shilla menghela napas, “Sakit jiwa!” jawab Shilla asal.
“Ya…mungkin dokter bener. Tapi dokter-lah yang udah bikin saya gila.” Jawab Gabriel sambil menatap Shilla tajam.
Shilla menghela napas. Ditatapnya cowok dihadapannya dengan kesal. Cowok itu memang benar-benar gila. Tapi saat melihat senyum Gabriel, rasa kesal itu menghilang. Senyuman itu mengingatkannya pada seseorang. Shilla terdiam sambil terus menatap wajah tampan yang kini ada di hadapannya.
Ditatap oleh Shilla seperti itu, Gabriel menjadi salah tingkah.
“Dokter kenapa ngeliatin saya gitu? Saya ganteng ya? Udah lama kok, Dok. Atau jangan-jangan…dokter udah mulai jatuh cinta sama saya ya?”
Shilla melotot, “Hah? Mmm…nggak kok! Jangan ge-er kamu!” jawab Shilla gugup. Lalu memilih menunduk untuk menymbunyikan wajahnya yang mulai merona.
“Kalo nggak…kenapa pipi dokter merah gitu?” goda Gabriel lagi sambil tersenyum jail.
“Mmm…kalo kamu Cuma mau ganggu saya aja, lebih baik sekarang kamu keluar aja!” Shilla mengalihkan pembicaraan.
Gabriel menghela napas, “Okelah, saya akan keluar. Tapi ada syaratnya!”
Shilla melotot. Cowok itu memang selalu membuatnya kesal.
“Apa?”
“Saya minta nomor handphone dokter.”
“Buat apa?”
“Yaaa…siapa tau saya sakit atau ada perlu sama dokter gitu, saya kan bisa hubungi dokter.”
Shilla mengambil selembar kartu namanya dari laci meja dan memberikannya pada Gabriel dengan kasar. Gabriel menerimanya dengan senang hati.
“Ashilla Zahrantiara…” Gabriel membaca nama yang tertera pada kartu nama itu, “Nama yang cantik, seperti orangnya.” Gabriel menaik-turunkan alisnya.
“Sekarang kamu bisa keluar!” kata Shilla tegas.
“Oke, makasih, Dok…”
Gabriel beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, Gabriel menoleh dan sekali lagi tersenyum pada Shilla. Shilla hanya membalasnya dengan senyuman tipis.
Shilla kembali menarik laci mejanya. Diambilnya sebuah lukisan yang tersimpan rapi dalam bingkai. Lukisan itu adalah lukisan dirinya yang dibuat oleh Alvin, 6 tahun yang lalu.
“Sudah bisa panggil pasien selanjutnya, Dok?” tanya suster yang membuat Shilla tersentak kaget.
Shilla hanya mengangguk.

♥ ♥ ♥

Shilla meletakkan satu buket mawar merah di depan sebuah batu nisan bertuliskan “Alvin Jonathan”. Shilla memejamkan matanya dan berdoa sejenak. Selesai berdoa, Shilla membuka matanya dan kembali menatap nisan itu dan membelainya lembut.
“Hai, Alvin! Gimana kabar kamu?”
Shilla menghela napas sejenak.
“Maafin aku ya baru sempet ke sini lagi, soalnya…belakangan ini aku sibuk banget. Makasih ya, Vin…kamu selalu ngasih aku semangat, walaupun cuma lewat mimpi. Sekarang kamu liat kan kalo aku udah jadi dokter? Cita-citaku udah terwujud. Dan aku seneng banget karena aku bisa menolong orang-orang di sekitar aku yang membutuhkan. Ini semua juga karena semangat dari kamu. Walaupun kamu udah nggak ada, aku tau kalo kamu selalu nemenin aku di setiap langkah aku.” Mata Shilla sedikit berkaca-kaca.
Shilla tersenyum, “Ya udah deh, Vin. Aku pulang dulu ya. Kamu baik-baik ya di sana. Aku janji, kalo aku akan sering-sering ke sini…”
Shilla berdiri, bersamaan dengan bunyi sms masuk di handphone-nya. Memang ada satu pesan masuk. Shilla membacanya…

From: +6281283xxxxxx
Sore, Dokter cantik!
Nanti malam ada acara ga?
Saya mau ngajak dokter
makan malam. Gmn?
-Pasien dokter paling ganteng (Gabriel)-

Shilla tersenyum membaca pesan singkat itu. Shilla berpikir sejenak. Ya…walaupun sering ngeselin, harus Shilla akui kalo dia mulai tertarik pada Gabriel. Selain ganteng, Gabriel juga orang yang baik. Lagi pula, Shilla juga harus mulai membuka hatinya kembali untuk seorang cowok.
Shilla membalas pesan itu…

To: +6281283xxxxxx
Boleh. Saya ga ada acara kok.

Setelah membalas pesan itu, Shilla memasukkan kembali handphone-nya ke dalam tas sembari berjalan menuju mobilnya. Dari atas sana…Alvin ikut tersenyum bahagia melihat kebahagiaan Shilla.

-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...